Kakek yang Menyulam Angin
Kakek tidak pernah terlihat sibuk. Tapi setiap sore, ia duduk di bawah pohon kelor, membawa jarum besar dari kayu dan seutas benang transparan yang tak pernah habis.
“Sedang apa, Kek?” tanyaku waktu kecil.
“Menyulam angin,” jawabnya, tanpa menoleh.
Aku dulu mengira itu lelucon. Tapi aku selalu melihatnya serius, jarumnya bergerak pelan, menembus udara kosong seperti menjahit kain tak kasatmata. Kadang ia mengangguk kecil, kadang mengerutkan dahi.
“Biar anginnya tidak lupa jalan pulang,” katanya suatu kali. “Biar suara-suara penting tidak tersesat.”
Kami tinggal di desa yang anginnya sering membawa kabar. Kalau ada bayi lahir, angin bertiup lembut ke rumah tetangga. Kalau ada yang meninggal, angin membawa aroma bunga kamboja. Aku pikir semua orang mengalaminya. Ternyata tidak.
“Apa Kakek yang bikin angin di sini beda?” tanyaku saat SMP.
Ia hanya tersenyum. “Angin itu pendengar paling setia. Kalau tak ada yang menuntunnya, ia bisa jadi pengembara kesepian.”
Waktu aku SMA dan mulai merantau ke kota, angin terasa hambar. Tidak ada kabar di dalamnya. Tidak ada bisik dari Kakek. Bahkan tak ada aroma tanah.
Setiap pulang kampung, aku duduk di dekat pohon kelor tempat Kakek menyulam. Kadang benangnya masih tergantung di dahan. Kadang jarumnya tertancap di akar. Seolah angin menyimpannya.
Suatu hari, saat Kakek wafat, angin berhenti seharian. Tak ada helai daun yang bergoyang. Orang-orang berkata, “Mendungnya aneh.” Tapi aku tahu: angin sedang berduka.
Aku duduk di bawah pohon kelor, memungut jarum kayu dan seutas benang terakhir.
Sejak itu, aku mencoba menyulam angin. Diam-diam, pelan-pelan. Tak semua orang percaya. Tapi kadang, tetanggaku bilang, angin di rumahku rasanya seperti selimut. Dan aku tersenyum.
Karena mungkin begitulah caranya mencintai: tak perlu terlihat sibuk. Cukup menyulam angin agar mereka yang tersesat bisa pulang.
Beberapa orang menertawakanku ketika aku mulai menyulam angin. “Udara bukan kain,” kata mereka. “Itu cuma kebiasaan orang tua dulu yang kesepian.” Tapi aku tidak marah. Aku tahu, tidak semua orang bisa mendengar bisikan angin yang sedang rindu.
Pernah suatu malam, angin masuk dari celah jendela kamarku. Membawa aroma daun sirih dan suara samar lagu masa kecil. Aku berhenti menulis, mengambil jarum kayu peninggalan Kakek, dan mulai menjahitnya ke udara. Aku tak tahu pasti apa yang kulakukan, hanya mengikuti gerakan tangan dan perasaan.
Esok harinya, tetangga sebelah mengetuk pintu. Ia bilang mimpinya semalam aneh, ia bertemu mendiang istrinya yang tersenyum dan berkata, “Terima kasih sudah merindukanku.”
Aku hanya tersenyum. Tak perlu penjelasan.
Sejak itu, aku percaya bahwa angin adalah media kenangan yang paling jujur. Ia menyimpan kata-kata yang tak sempat terucap, tawa yang tertahan, tangis yang disembunyikan. Dan tugas kami yang menyulam bukanlah mengubah angin, tapi menenunnya agar tetap mengandung makna.
Suatu hari, seorang anak kecil dari kampung sebelah datang padaku. Ia duduk diam di tangga, memegang benang wol warna biru. “Aku mau belajar seperti Kakekmu,” katanya malu-malu.
Aku tertegun. “Kenapa?”
“Karena aku sering mimpi rumahku tenggelam di langit. Tapi angin selalu datang dan menjemputku pulang.”
Aku tak tahu harus menjawab apa. Tapi aku ambilkan sepotong jarum dari bambu tua milik Kakek. Kami duduk bersama, menyulam angin sore yang membawa bau nasi hangat dan ayam goreng dari dapur rumah tetangga.
Setiap simpul adalah doa. Setiap tarikan benang adalah harapan agar tidak ada suara yang hilang sebelum tiba.
Kini aku mengajar anak-anak menyulam angin. Bukan sebagai pelajaran formal, tapi sebagai cara memahami dunia. Mereka belajar mengenali arah angin dari rasa di kulit, belajar membedakan angin gelisah dan angin gembira. Kadang kami duduk di lapangan sekolah, memejamkan mata, dan meraba aliran udara seperti membaca buku tanpa huruf.
Mungkin ini bukan keterampilan yang dicari dalam iklan lowongan kerja. Tapi aku tahu, suatu hari nanti, saat dunia terlalu gaduh dan sunyi jadi langka, mereka akan tahu ke mana harus kembali.
Ke angin yang pernah disulam dengan kasih.
.png)
Komentar
Posting Komentar