Anak Pertama
Di ujung senyap malam yang menggigil,
aku, anak pertama, berdiri sendiri—
menopang beban yang tak pernah kupilih,
menelan pahit sambil tersenyum demi harmoni.
Aku lahir lebih dulu,
maka katanya, harus lebih tahu.
Harus kuat, harus sabar, harus mampu,
padahal jiwaku pun pernah ingin runtuh,
seperti tembok retak yang tak diberi waktu untuk runtuh.
Ketika dunia menyakitiku diam-diam,
aku tidak menangis lantang di hadapan,
karena katanya, aku panutan.
Jadi aku simpan luka dalam diam,
kubungkus tangis dalam pelukan malam.
Tak ada bahu tempat aku bersandar,
hanya dinding kamar yang jadi pendengar,
tak ada yang bertanya,
"Apakah kamu baik-baik saja?"
Sebab mereka pikir, aku selalu bisa.
Aku anak pertama, bukan pelindung semesta.
Aku manusia juga—perlu pelukan,
perlu kata yang menenangkan,
perlu tempat untuk pulang,
ketika dunia tak lagi ramah di pandang.
Tapi aku terus berjalan,
meski lututku gemetar di jalan.
Karena jika aku jatuh,
tak ada tangan yang siap menangkap.
Aku harus kuat,
karena jika tidak,
semuanya akan runtuh bersamaku.

Komentar
Posting Komentar